INterkin – Walaupun mendapat penolakan luas dari masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis (20/03) pagi. Keputusan ini memicu protes keras dari mahasiswa dan aktivis prodemokrasi yang menggelar unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia.
Hingga Kamis malam, ribuan demonstran terus bertahan di sekitar gedung DPR di Jakarta, meskipun aksi mereka sempat memanas. Sekitar pukul 19.00 WIB, sejumlah pengunjuk rasa berhasil merangsek masuk ke halaman DPR setelah berhasil menjebol pagar depan sebelah kiri. Mereka meneriakkan “Revolusi” dan berjanji untuk tidak berhenti berjuang meski RUU TNI sudah disahkan. Salah satu orator dari kalangan mahasiswa, Sukma Ayu, menegaskan, “Perjuangan kami tidak akan berhenti meskipun RUU TNI telah disahkan. Kami akan terus melawan hingga DPR melakukan evaluasi.”
“Demokrasi Telah Dibunuh”
Aktivis hak asasi manusia (HAM), Wilson, menyatakan bahwa pengesahan RUU TNI ini adalah simbol bahwa demokrasi telah dibunuh oleh DPR. Wilson menambahkan bahwa dalam esensi demokrasi, militer tidak boleh berpolitik, apalagi menduduki jabatan sipil. “Militer hanya mengurus barak dan pertahanan negara, bukan urusan sipil,” tegas Wilson.
Menurutnya, pengesahan RUU TNI menandai puncak dari pembunuhan demokrasi secara perlahan sejak reformasi, dengan para pelaku disebut sebagai “Neo Orba” dan “Reformis Gadungan.” Ia menilai, dengan adanya revisi ini, rakyat Indonesia akan semakin terancam hak-haknya dan demokrasi semakin terkikis.
Revisi yang Menyisakan Kekhawatiran
Sejumlah mahasiswa dari kota-kota besar seperti Bandung, Solo, Yogyakarta, Makassar, dan Surabaya juga menggelar aksi penolakan terhadap revisi UU TNI ini. Di Bandung, sekitar seratus mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menyuarakan penolakan mereka di depan Gedung DPRD Jawa Barat. Levi, seorang mahasiswa yang turut serta dalam aksi ini, mengungkapkan bahwa pengesahan UU TNI memperlihatkan bahwa pemerintah terang-terangan berusaha mencabut hak demokrasi rakyat.
“Disahkannya UU ini semakin jelas bahwa hak-hak demokrasi masyarakat semakin terancam. Ini adalah langkah mundur yang besar bagi Indonesia,” ujar Levi. Mahasiswa lainnya, Ainul Mardhyah, juga menyoroti dampak negatif dari UU TNI terhadap sektor pendidikan. “Kami khawatir militerisme akan semakin menguat di sektor pendidikan, di mana mahasiswa yang kritis akan terus dibungkam,” tambah Ainul.
Di Solo, para mahasiswa menggelar aksi long march dari Masjid Al Muhlihun menuju Gedung DPRD Solo. Mereka menuntut agar TNI kembali ke barak dan menghentikan keinginan mereka untuk menduduki jabatan sipil. “TNI seharusnya tidak boleh terlibat dalam ranah sipil. Ini adalah negara demokratis, bukan negara militer,” kata Ridwan Widayat, koordinator aksi.
Aksi Demonstrasi Berlanjut di Berbagai Kota
Di Semarang, demonstrasi yang dilakukan oleh ratusan mahasiswa di depan kantor DPRD Jawa Tengah sempat memanas. Para peserta aksi yang menggelar aksi damai tiba-tiba dihadang oleh aparat kepolisian yang melakukan tindakan represif. “Kami hanya ingin mengadakan sidang rakyat di gedung DPRD, tapi justru mendapatkan pemukulan dan intimidasi dari polisi,” ujar Aufa Atthariq, koordinator aksi di Semarang. Beberapa demonstran bahkan mengalami luka-luka akibat tindakan tersebut. Polisi membantah tudingan pemukulan, namun mengaku telah menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.
Tidak hanya di Jakarta, Bandung, dan Solo, aksi serupa juga terjadi di Makassar dan Yogyakarta. Di Makassar, massa yang tergabung dalam Koalisi Makassar Tolak RUU TNI menyuarakan penolakan mereka di depan DPRD Sulawesi Selatan. Ahkamul Ihkam, juru bicara Koalisi Makassar, menyatakan bahwa revisi UU TNI ini menunjukkan bahwa DPR tidak peduli dengan suara rakyat.
Sementara itu, di Yogyakarta, Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi dengan pertunjukan seni untuk menentang RUU TNI. Mereka menyerukan untuk membatalkan revisi undang-undang tersebut dan bahkan menuntut pemakzulan terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. “Prabowo dan Gibran telah mengkhianati negara dan cita-cita reformasi. Mereka memenuhi syarat untuk dimakzulkan,” tegas Bung Koes, salah satu orator dalam aksi tersebut.
DOKUMENTASI DEMONSTRASI DI BERBAGAI KOTA BESAR









Pihak DPR dan Pemerintah Membantah Kritik
Sikap DPR yang tetap mengesahkan revisi UU TNI ini bertolak belakang dengan protes keras dari masyarakat. Namun, para politikus di DPR membantah tudingan bahwa pengesahan RUU TNI membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Mereka menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara tanpa terlibat dalam politik.
Ketua DPR, Puan Maharani, menjelaskan bahwa ada tiga pasal yang mengalami revisi dalam UU TNI. Pertama, Pasal 7 yang menambah cakupan tugas TNI, termasuk tugas dalam pertahanan siber dan melindungi kepentingan nasional di luar negeri. Kedua, Pasal 47 yang mengatur penempatan prajurit TNI di kementerian dan lembaga negara, yang kini mencakup 14 kementerian. Ketiga, Pasal 53 yang memperpanjang masa dinas keprajuritan sesuai dengan jenjang kepangkatan.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menegaskan bahwa TNI tetap akan menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan tidak akan mengecewakan rakyat. Ia menambahkan, TNI adalah “tentara rakyat” yang profesional dalam menjaga kedaulatan negara.
Tuntutan Mahasiswa: Gagalnya RUU TNI
Mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia telah berjanji untuk terus melawan jika RUU TNI yang baru disahkan tidak dicabut. Mereka menuntut agar kebijakan tersebut tidak hanya dilihat dari perspektif kepentingan militer, tetapi juga memperhatikan suara rakyat. Sebagai respons terhadap penolakan tersebut, mereka mengancam akan melaksanakan aksi yang lebih besar lagi.
Aksi yang digelar hari ini menjadi bukti bahwa perlawanan terhadap kebijakan ini masih akan terus ada. Seperti yang dikatakan Vanya, seorang mahasiswa di Surabaya, “Perlawanan akan terus ada, baik itu dalam aksi massa maupun di media sosial. Kami tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran.”








